Rabu, 20 April 2011, kira-kira pukul 15.45 WIB, sepulang dari “glidik, ngupadi upo [bekerja, mencari sesuap nasi]”, penulis menyempatkan diri, mampir ke bekas lapangan voli, sekarang sering digunakan anak-anak bermain sepak bola, yang letaknya di sebelah Barat Laut, Masjid Al Hikmah Toyan.
Sore itu, anak-anak yang notabene adalah santri Taman Pendidikan Al Qur’an Al Hikmah Toyan, sedang melakukan latihan bersama dengan anak-anak kampung tetangga. Pertandingan berlangsung menarik dan diselingi canda tawa dari pemain, dan tanpa ada wasit.
Gol demi gol-pun tercipta. Yang menarik adalah, ketika dalam suatu kesempatan, terjadi handball. Karena pertandingan berlangsung cepat dan tidak ada wasit, Si anak yang melakukan handball tersebut dengan reflek, mengatakan, “aku handball”. Penulis tersenyum, ”luar biasa”, itulah keceriaan, kepolosan, dan kejujuran anak-anak.
Mungkin, dalam sebuah pertandingan resmi, tidak ada seorang pemain yang melakukan pelanggaran (handball, misalnya), langsung mengakui. Kebanyakan yang ada, pemain itu berusaha mengelak atau justru menyalahkan wasit, ketika itu merugikan tim yang dibelanya.
Bagi anak-anak itu, kepuasan adalah ketika mereka bisa berkumpul dengan teman-teman, tertawa dengan lepas dan mengekspresikan hobby mereka. Anak-anak itu, tidak butuh kemenangan yang harus diperoleh dengan tidak jujur bahkan dengan cara-cara kotor.
Urgensinya, mengambil hikmah dari pengalaman itu, bahwa jujur secara fitrah adalah sifat manusia. Ketika fitrah itu tidak dibiasakan, tidak dijaga, tidak dipupuk mulai dari situasi keluarga, lingkungan serta kondisi dimana dia tumbuh dan berkembang tidak mendukung dan tidak membiasakan kejujuran itu, maka fitrah itu akan hilang, seiring usia mereka menginjak dewasa, 20 atau 30 tahun yang akan datang. Wallohu Alam bi Showab *[adm]
Ditulis oleh : Aan [Direktur TPA Al Hikmah Toyan]
Sore itu, anak-anak yang notabene adalah santri Taman Pendidikan Al Qur’an Al Hikmah Toyan, sedang melakukan latihan bersama dengan anak-anak kampung tetangga. Pertandingan berlangsung menarik dan diselingi canda tawa dari pemain, dan tanpa ada wasit.
Gol demi gol-pun tercipta. Yang menarik adalah, ketika dalam suatu kesempatan, terjadi handball. Karena pertandingan berlangsung cepat dan tidak ada wasit, Si anak yang melakukan handball tersebut dengan reflek, mengatakan, “aku handball”. Penulis tersenyum, ”luar biasa”, itulah keceriaan, kepolosan, dan kejujuran anak-anak.
Mungkin, dalam sebuah pertandingan resmi, tidak ada seorang pemain yang melakukan pelanggaran (handball, misalnya), langsung mengakui. Kebanyakan yang ada, pemain itu berusaha mengelak atau justru menyalahkan wasit, ketika itu merugikan tim yang dibelanya.
Bagi anak-anak itu, kepuasan adalah ketika mereka bisa berkumpul dengan teman-teman, tertawa dengan lepas dan mengekspresikan hobby mereka. Anak-anak itu, tidak butuh kemenangan yang harus diperoleh dengan tidak jujur bahkan dengan cara-cara kotor.
Urgensinya, mengambil hikmah dari pengalaman itu, bahwa jujur secara fitrah adalah sifat manusia. Ketika fitrah itu tidak dibiasakan, tidak dijaga, tidak dipupuk mulai dari situasi keluarga, lingkungan serta kondisi dimana dia tumbuh dan berkembang tidak mendukung dan tidak membiasakan kejujuran itu, maka fitrah itu akan hilang, seiring usia mereka menginjak dewasa, 20 atau 30 tahun yang akan datang. Wallohu Alam bi Showab *[adm]
Ditulis oleh : Aan [Direktur TPA Al Hikmah Toyan]