[alhikmahtoyan.blogspot.com] – Abdul Malik bin Muhammad,dalam kitabnya membagi manusia dalam lima tingkatan terkait dengan sholat. Lalu dimana posisi mana tingkatan shalat kita? Mari evaluasi diri.
Pertama, Mu’aqab (kelompok yang diazab). Mereka adalah golongan manusia yang mengerjakan sholat,tetapi salah menjalankannya dan jauh dari sempurna. Selain syarat dan rukunnya diabaikan, mulai dari pelaksanaan wudlu hingga soal thaharah lainnya juga tidak mendapat perhatian. Dapat dikatakan, mereka itu shalat asal-asalan. Waktu shalat sering dilakukan diluar waktunya,serimg terlambat, bahkan seringkali tidak dilaksanakan. Merekalah dalam al-Qur’an disebut “an shalatihim sahun” orang yang dhalimun linafsihi,orang yang menzalimi diri sendiri.
Kedua, Muhasab (kelompok yang dihisab). Golongan ini adalah mereka yang rajin melaksanakan shalat,menjaga waktu-waktunya, demikian juga syarat,wajib, dan rukunnya. Secara lahiriyah seluruh ketentuan mengenai shalat sudah dipenuhinya. Wudlunya bagus, pakaiannya nenutup aurat, tidak terkena najis, menghadap qiblat, tepat waktu, demikian juga semua rukun shalat tidak cacat. Sayang, satu hal yang kurang pada kelompok ini adalah kehadiran hatinya. Pada saat shalat, hati dan pikirannya tidak dijaga sehingga melayang-melayang entah kemana.
Ketiga, Mukaffar’anhu (yang diampuni dosa-dosanya). Setingkat lebih baik lagi adalah kelompok orang-oramg yang senantiasa menjaga batasan-batasan shalat, menjalankan wajib dan rukunnya, bahkan menjalankan sunnah-sunnahnya, sekaligus bersungguh-sungguh disisi Allah SWT dari segala godaan nafsu was-was yang mengotori pikiran dan perasaannya. Dalam shalatnya mereka sibuk menjaga hati dan pikirannya. Mereka berkosentrasi penuh agar setan tidak berkesempatan mencuri shalatnya.
Keempat, Mutsah (yang diberi pahala). Tak sekedar diampuni dosa-dosanya, mereka termasuk orang yang berhak mendapat pahala yang berlimpah. Mereka ini adalah segolongan kecil orang yang aqimush-shalat(menegakkan shalat),tidak sekedar menjalankannya. Golongan ini menegakkan shalat dengan hak-haknya, rukun-rukunnya, dan hatinya tenggelam dalam menjaga batasan-batasanya. Mereka tidak membiarkan hatinya sedikitpun terlena dari segala hal yang dapat mengganggu konsentrasi shalatnya. Pada tingkatan ini seluruh anggota tubuhnya berzikir, pikirannya berzikir, juga hatinya berzikir, sebagaimana firman-Nya : “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thaha[20]:14).
Kelima, Muqarrib min Rabbihi (yang mendekatkan diri kepada Allah.).Menurut penulis buku ini, tingkatkan yang paling tinggi adalah orang yang menegakkan shalat sampai pad tahap muqarribin, yaitu orang-orang yang dekat dengan Allah. Ketika shalat, golongan ini merasa benar-benar bertemu dan berhadapan dengan Allah. Jiks tidak melihat Allah, maka mereka yajin bahwa Allah melihatnya. Mereka meletakan hatinya dihadapan Allah, merasa diawasi Allah, dan hatinya penuh dengan kedekatan kepada Allah. Dihatinya telah sirna segala was-was dan segala pikiran diluar shalat. Mereka itulah orang-orang yang disebut Nabi SAW sebagai muhsinin.
Demikian beberapa tingkatan shalat. Mari selalu bermuhasabah untuk meningkatkan tingkatan shalat kita. Di tingkatan mana posisi sholat kita? Wallahu ’Alam. *[adm]
Referensi : Suara Hidayatullah
Pertama, Mu’aqab (kelompok yang diazab). Mereka adalah golongan manusia yang mengerjakan sholat,tetapi salah menjalankannya dan jauh dari sempurna. Selain syarat dan rukunnya diabaikan, mulai dari pelaksanaan wudlu hingga soal thaharah lainnya juga tidak mendapat perhatian. Dapat dikatakan, mereka itu shalat asal-asalan. Waktu shalat sering dilakukan diluar waktunya,serimg terlambat, bahkan seringkali tidak dilaksanakan. Merekalah dalam al-Qur’an disebut “an shalatihim sahun” orang yang dhalimun linafsihi,orang yang menzalimi diri sendiri.
Kedua, Muhasab (kelompok yang dihisab). Golongan ini adalah mereka yang rajin melaksanakan shalat,menjaga waktu-waktunya, demikian juga syarat,wajib, dan rukunnya. Secara lahiriyah seluruh ketentuan mengenai shalat sudah dipenuhinya. Wudlunya bagus, pakaiannya nenutup aurat, tidak terkena najis, menghadap qiblat, tepat waktu, demikian juga semua rukun shalat tidak cacat. Sayang, satu hal yang kurang pada kelompok ini adalah kehadiran hatinya. Pada saat shalat, hati dan pikirannya tidak dijaga sehingga melayang-melayang entah kemana.
Ketiga, Mukaffar’anhu (yang diampuni dosa-dosanya). Setingkat lebih baik lagi adalah kelompok orang-oramg yang senantiasa menjaga batasan-batasan shalat, menjalankan wajib dan rukunnya, bahkan menjalankan sunnah-sunnahnya, sekaligus bersungguh-sungguh disisi Allah SWT dari segala godaan nafsu was-was yang mengotori pikiran dan perasaannya. Dalam shalatnya mereka sibuk menjaga hati dan pikirannya. Mereka berkosentrasi penuh agar setan tidak berkesempatan mencuri shalatnya.
Keempat, Mutsah (yang diberi pahala). Tak sekedar diampuni dosa-dosanya, mereka termasuk orang yang berhak mendapat pahala yang berlimpah. Mereka ini adalah segolongan kecil orang yang aqimush-shalat(menegakkan shalat),tidak sekedar menjalankannya. Golongan ini menegakkan shalat dengan hak-haknya, rukun-rukunnya, dan hatinya tenggelam dalam menjaga batasan-batasanya. Mereka tidak membiarkan hatinya sedikitpun terlena dari segala hal yang dapat mengganggu konsentrasi shalatnya. Pada tingkatan ini seluruh anggota tubuhnya berzikir, pikirannya berzikir, juga hatinya berzikir, sebagaimana firman-Nya : “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thaha[20]:14).
Kelima, Muqarrib min Rabbihi (yang mendekatkan diri kepada Allah.).Menurut penulis buku ini, tingkatkan yang paling tinggi adalah orang yang menegakkan shalat sampai pad tahap muqarribin, yaitu orang-orang yang dekat dengan Allah. Ketika shalat, golongan ini merasa benar-benar bertemu dan berhadapan dengan Allah. Jiks tidak melihat Allah, maka mereka yajin bahwa Allah melihatnya. Mereka meletakan hatinya dihadapan Allah, merasa diawasi Allah, dan hatinya penuh dengan kedekatan kepada Allah. Dihatinya telah sirna segala was-was dan segala pikiran diluar shalat. Mereka itulah orang-orang yang disebut Nabi SAW sebagai muhsinin.
Demikian beberapa tingkatan shalat. Mari selalu bermuhasabah untuk meningkatkan tingkatan shalat kita. Di tingkatan mana posisi sholat kita? Wallahu ’Alam. *[adm]
Referensi : Suara Hidayatullah