skip to main |
skip to sidebar
Pertama, tanamkan kesadaran bahwa mendengarkan adalah pekerjaan mulia dan kunci kesuksesan. Kualitas kepemimpinan seseorang tidak semata ditentukan oleh aktifitas meriwayatkan seperti berorasi (katsratur riwayah), tetapi banyak melayani yang dipimpin dan mendengarkan aspirasi bawahan (katsratur ri’ayah wal istima’).
Kedua, berikan perhatian sepenuhnya kepada lawan bicara. Ketika ada yang ingin mengajak bicara, berusahalah untuk menjauhkan semua pikiran yang menganggu dalam kepala kita. Fokuskan diri kepada uraian pembicaraannya. Kita tidak mungkin bisa mendengarkannya jika pada saat yang sama kita memikirkan hal lain yang menggangu pikiran kita.
Ketiga, tataplah mata lawan dengan tatapan hormat. Saat memandangnya, dia akan merasa nyaman, mau membuka hati, dan masalahnya kepada kita. Jangan berkeliling memandang ruangan atau objek lain. Bayangkan bagaimana rasanya berbicara dengan orang yang menghindari kontak mata dengan kita ?
Keempat, berikan respon yang bersahabat. Respon kecil yang mungkin tampak sepele bisa membuat lawan bicara merasa dihargai. Sekali-kali anda bisa mengangguk, menggelengkan kepala, tersenyum, tertawa kecil atau memberikan komentar-komentar pendek seperti, ”Oh, ya?, hebat!” dan lain-lain.
Kelima, belajarlah peka terhadap motif pembicaraannya. Mungkin dia sedang mencurahkan isi hatinya tanpa keinginan untuk dinasehati, apalagi disalahkan. Jadi kita cukup berperan sebagai pendengar saja. Atau, mungkin dia sedang menceritakan pengalaman agar kita memujinya. Jadi, pujilah ia dengan tulus.
Keenam, belajarlah mendengar dengan sabar dan tulus. Semua kiat di atas tidak akan membuat kita menjadi pendengar yang baik bila kita tidak melakukannya dengan sabar dan tulus. Kita tidak akan menjadi pendengar yang baik bila terbiasa berpura menjadi pendengar yang baik. *[adm]
Referensi : Suara Hidayatullah | Sabar dan Istiqomah
Selengkapnya → Kiat Menjadi Pendengar Yang Baik

[alhikmahtoyan.blogspot.com] – Pohon pisang tidak mau mati sebelum berbuah. Ia ingin kehadirannya di atas dunia ini bisa memberi manfaat sebelum ajal datang menjemput.
Tak sekedar itu, pohon pisang telah mempersiapkan generasi penerusnya sebelum ia mati. Tunas-tunas muda inilah yang akan meneruskan tugasnya memberi kebaikan kepada siapa saja yang memetik buahnya, atau mengambil daunnya atau memanfaatkan batangnya.
Itulah pisang. Manusia sebagai makhluk yang dikaruniai akal seharusnya bisa berbuat lebih dari sekedar sebatang pisang. Apalagi bila ia seorang Muslim yang telah menerima warisan Al Quran dari Allah SWT lewat Rasulullah SAW.
Lalu mengapa saat ini, manusia sudah demikian jauh dari tuntunan kitab yang telah diwariskan sejak berabad-abad silam ? Rupanya proses pewarisan nilai-nilai kebaikan dalam kurun waktu yang teramat panjang, sejak Rasulullah SAW wafat di Madinah, tidak berjalan sempurna.
Kurun waktu yang begitu panjang dan melewati begitu banyak generasi tersebut rupanya telah menggerus nilai-nilaikebaikan yang seharusnya terwarisi dengan baik.
Kita harus mencegah abrasi ini. Kita tidak ingin nilai-nilai kebaikan itu terus tergerus sampai generasi anak cucu kita nanti. Kita harus mulai mewariskan nilai-nilai kebaikan itu secara sempurna dengan melahirkan anak-anak yang shaleh, ilmu yang berfaedah, serta harta benda yang bermanfaat.
Dengan begitu, tak sekedar kucuran pahala yang akan kita terima, juga harapan untuk menyongsong kembali tegaknya peradaban Islam akan terkuak kembali. Insya Allah. *[adm]
Referensi : Suara Hidayatullah | Pelaut Tangguh | Generasi Muda sebagai Asset
Selengkapnya → Jadilah Pewaris Kebaikan